Thursday, October 21, 2010

Negara Atjèh di Mata Dunia

  sultan_mahmudsyah_johan_berdaulat.jpg                          
 Sultan Mahmud Johansyah  Berdaulat
 Ajudan (kanan) dan Pengawalnya (kiri).
Negara Atjèh di Mata Dunia
Pada 1819, saat Kerajaan Inggris dan Kesultanan Aceh menandatangani kerjasama pertahanan. Bagi Inggris, perjanjian itu sangat penting untuk memuluskan langkah mereka menguasai Selat Malaka, jalur perdagangan paling strategis di planet ini. Selain itu, mereka juga berkepentingan ingin menduduki Malaysia, Singapura (Tumasik), dan tempat-tempat strategis lainnya di sebelah utara-timur Selat Malaka.
Sebaliknya, bagi Kerajaan Aceh, kerjasama dengan Inggris menguntungkan secara politik karena negara itu adalah super-power di zamannya. Perjanjian ini juga sebuah kemenangan diplomasi Aceh atas Belanda. Sebab, sejak awal abad ke-18, Kerajaan Aceh, Inggris, dan Belanda saling berlomba menancapkan kukunya di Lautan Malaka. Adapun yang berperan menggalang kerjasama Inggris-Aceh adalah si pembangun Singapura yang tersohor, Sir Stamford Raffles.
Inggris pun menyadari bila kerajaan Aceh tak bisa dianggap enteng. Portugis punya pengalaman pahit berurusan dengan orang Aceh. Dalam usahanya menguasai Semenanjung Malaka pada pertengahan abad ke-15, Portugis berhadapan dengan angkatan perang Aceh yang melawan dengan sengit dan berkesinambungan di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1524-1530), Sultan Salahuddin (1528-1537), Sultan Ala’adin Ri’ayat Syah Al Qahhar (1537-1571), Sultan Ala ad-Din Mansyur Syah (1579-1586), Sultan Ala’adin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1587-1604), hingga mencapai masa keemasan saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Portugis sendiri akhirnya mundur teratur hingga ke tanah Sunda dan Demak setelah menaklukkan Malaka, tanpa Aceh. Aceh sendiri justru memukul balik dengan membantu Pati Unus dari Demak dalam ekspedisi ‘ganyang Portugis’ di Semenanjung Malaka, kendati gagal pada 1513.
Kerajaan Belanda pun semula segan dan sangat menghormati kedaulatan Aceh. Saat berhasil menaklukan Jawa pada 1596, Belanda tak berani menyerang Aceh. Malah hubungan dagang antara Aceh-Belanda terjalin baik. Hubungan ini tertuang dalam Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan pada 30 Maret 1857. Perjanjian tersebut memperkuat komitmen Belanda yang mengakui kedaulatan Aceh. Belanda bahkan terikat Traktat London (1821) yang mengharuskannya menghormati kedaulatan Aceh.
Namun nafsu menguasai Sumatera agaknya terus menggelegak. Mulanya Belanda menguasai Kerajaan Siak dan Deli pada 1858, sebelum akhirnya melirik Malaka dan Aceh. Untuk memuluskan rencananya, diam-diam Belanda melakukan konspirasi dengan Inggris dalam Traktat Sumatera (1971). Isinya, Inggris memberi keleluasaan pada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Sumatera. Dan sebagai imbalannya, Belanda harus menyerahkan salah satu wilayah jajahannya di Afrika yang bernama Gold Coast kepada Inggris.
Sikap Inggris jelas merupakan pengkhianatan. Perang antara Aceh dan Belanda pun pecah sejak 1873. Pasukan Belanda mengerahkan 3.000 tentara di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kohler yang mengerahkan kapal perang Citadel van Antwerpen. Jumlah bala tentara ini merupakan terbesar yang pernah dikumpulkan Belanda di Asia Tenggara.
Antara 26 Maret hingga 23 April 1873 pejuang-pejuang Aceh di bawah Sultan Mahmud Syah mempertahankan garis pantainya dari operasi amfibi Belanda. Jenderal Kohler sendiri berhasil ditangkap dan kemudian dieksekusi. Ini adalah kekalahan Belanda paling memalukan di Asia Tenggara. Sejak itu, Belanda kian memperkuat pasukannya di Aceh.
Setahun setelah Kohler tewas, tepatnya 26 Januari 1874, Sultan Mahmud menyusul. Kerajaan Aceh pun mulai goncang karena putra mahkota, Muhammad Daud Syah, masih kecil. Namun karena tuntutan konstitusi, mau tak mau, kerajaan harus tetap melantik Daud Syah sebagai sultan. Ada yang mengatakan, saat dilantik, umur Daud masih di bawah 10 tahun. Tapi ada pula yang menyebut usianya sudah 12 tahun.
Selama dipimpin Sultan Daud Syah, kerajaan Aceh benar-benar porak poranda. Prof Alfian menyebutnya sebagai keturunan Iskandar Muda yang paling lemah. Dalam kondisi itulah, Teungku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman—ulama kepercayaan kerajaan—mengambilalih pasukan.
Kunjungi situs saya, www.kandaratjeh.com.co.in