Saturday, September 25, 2010

Syeikh Nuruddin Ar Raniry dalam Riwayat



Ulama yang namanya ditabalkan pada Institus Agama Islam Negeri (IAIN) di Darussalam, Banda Aceh ini, dalam faham keislamannya, sangat bertolak belakang dengan faham wujudiah yang diajarkan oleh ulama Aceh seangkatannya; Hamzah Fansuri.

Penetangannya terhadap Wujudiah, dituangkan dalam kitab Ma’a al-Hayat Li al-Mamat. Yang berisikan bantahan-bantahan terhadap ajaran Wujudiah. Salah satu alasannya menentang ajaran Wujudiah dalam kitab tersebut adalah tentang ke-Esaan wujud Tuhan dengan wujud alam dan manusia. Alasannya, jika benar Tuhan dan makhluk itu hakikatnya satu, maka semua makhluk ciptaan Allah adalah Allah. Hal ini menurutnya mengartikan bahwa apa yang dimakan, diminum, dan dibakar itu adalah Allah. Dengan demikian berarti semua perbuatan manusia dan makhluk lainnya, seperti membunuh dan mencuri adalah perbuatan Allah (Ahmad Daudi,1978).



Sikapnya yang menentang ajaran Wujudiah tersebut didukung oleh Sultan Iskandar Thani, sehingga tak lama kemudian dia pun di¬angkat menjadi Mufti kerajaan Aceh. Maka semakin mudahlah jalan baginya untuk melakukan pembaharuan di Aceh.

“…dan lalu pula katanya tamsil seperti matahari dengan cahaya, dengan panas, namanya tiga, rupanya tiga, hakikatnya satu jua. Maka I’tikad seperti ini adalah I’tikad Nasrani bahwa wujud (tuhan) tiga. Pertama wujud bapa, ke dua wujud ibu, ke tiga wujud anak… Jauhilah wahai semua (orang) yang beriman.”

Itulah sepenggal analisis kritis Syeikh Nurruddin Ar-Raniri dalam kitabnya Tabyan fi ma’rifat al-Adyan, terhadap isi kitap Muntha karangan Hamzah Fansuri yang menyebarkan faham Wujudiah.

Berbagai kitab kemudian ditulisnya untuk mematahkan ajaran Wujudiah. Salah satunya dalam kitabnya Hujjah as-Siddiq Lidaf az-Zindik. Ia menulis: “Amat nyata kesalahan mereka itu, karena ditamsilkan mereka itu hak (Allah) Ta’ala dengan makhluk, seperti matahari dengan pa¬nas yang hadith keduanya: maka dihubungkannya mahkluk dengan hak (Allah) Ta’ala seperti perhubungan panas dengan matahari. Dan tiada sesuatu dari pada keduanya berhubungan, maka misal yang demi¬kian itu muhal, sekali-kali tiada diperoleh pada hak (Allah) Ta’ala…”.(DR. T. Iskandar)

Pertentangan Syeikh Nurruddin Ar-Raniry dengan faham Wujudiah, semakin lama se-makin memuncak. Dan atas anjurannya kemudian Sultan Iskandar Thani memerin-tahkan untuk membakar semua kitab karangan Hamzah Fansuri dan Syeikh Shamsuddin Pasai, tentang Wujudiah.

Setelah kitab-kitab itu dibakar, maka atas perintah Sultan Iskandar Thani kala itu, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry kemudian mengarang kitab Bustanus Salatin, kitab itu mulai ditulis pada tanggal 17 Syawal 1047 H.

Kitab tersebut merupakan karya Syeikh Nurruddin Ar-Raniry terbesar diantara sejumlah karya-karyanya. Dan merupakan karya terbesar pula yang pernah ditulis oleh pengarang-pengarang Melayu. Sampai sekarang kitab ini masih menjadi bahan kajian para sejarawan manca-negara.

Setelah berhasil memerangi faham Wujudiah selama tujuh tahun di Aceh, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry pada tahun 1045 H, kembali ke kampung halamannya di Ranir. Sampai di sana ia mengarang kitab Rahik Al-Muhammadiyyah fi Tariq as-Sufiyah (Minuman bagi Umat Muhammad pada jalan tasawuf)

Tapi sebelum kitab itu rampung ditulisnya, ulama besar ini, yang telah mem¬bebaskan masyarakat Aceh dari pengaruh Wujudiah, meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H. kitab tersebut kemudian ditamatkan oleh Syeikh Salah ad-Din Ibrahim Ibnu Abdullah dengan jalan memasukkan khutbah ke dalamnya.

Dari Ranir ke Aceh

Syeikh Nurruddin Ar-Raniry ber¬nama lengkap Nurruddin Muhammad Bin Ali Bin Hasan Muhammad Hamid Ar-Raniry al-Quraisyi Asy-Syafii. Ia merupakan seorang sarjana India berkebangsaan Arab, lahir di daerah Ranir (sekarang Rander) suatu Bandar dekat Surat diGujarat, India. Ranir saat itu merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai dikunjungi dan didiami oleh ber¬bagai bangsa seperti Turki, Mesir, Arab, Persia dan juga dari negara-negara Asia Tenggara.

Tentang sejarah tokoh sufi ini, telah ditulis oleh beberapa sejarawan Belanda, seperti P. Voorhoeve dalam bukunya Van en Over Nurruddin Ar-Raniry dan Twee Maleische Geschriften Van Nurruddin Ar-Raniry, terbitan Leiden University. Belanda.

Kemudian ada lagi G.W.J. Drewes, juga berkebangsan Belanda, dalam buku De Herkomst Van Nurruddin Ar-Raniry. Jejak kedua sejarawan ini ke¬mudian diikuti oleh rekan sebangsanya C.A.O Van Nieuwenhuijze, yang menulis buku Nur al-Din Ar-Raniry, als Bestrijder de Wugudiyah, yang mengupas tentang per¬tentangan Ar-Raniry dengan Hamzah Fan¬suri yang menyebarkah faham Wujudiah.

Masa kecil Syeikh Nurruddin Ar-Raniry di¬ha¬bis¬kan untuk mempelajari Islam di daerah¬nya. Dalam ilmu sufi dan tarekat, ia ber¬guru pada As-Sayyid Umar Ibnu Abdullah Ba Saiban. Setelah dewasa, ia melanjutkan stu¬di¬nya ke Tarim, Arab Selatan.

Tahun 1030 H (1621 M) hijrah ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Di Arab, ia terus memperdalam ilmunya, karena saat itu banyak orang Melayu di tanah suci, maka kesempatan itu juga digunakannya untuk mempelajari bahasa Melayu. Setelah memantapkan ilmunya di Arab, ia kembali lagi ke Ranir.

Tapi saat itu, suasana Ranir sudah lain, karena terjadi persaingan dalam perdagangan dengan orang Islam, Portugis melakukan agresi ke kota pelabuhan itu pada tahun 1530. Ketika Ranir jatuh ke tangan Portugis, maka kota perdagangan Islam dipindahkan ke daerah Surat, sebagai kota pelabuhan baru di Gujarat.

Akibat dari agresi Portugis itu banyak dari pedagang-pedagang Islam yang meninggalkan Ranir dan mencari pusat perdagangan lain. Selain Surat dan daerah sekitar India, kerajaan Aceh yang sudah maju di bidang perdagangan ekspor-impor, juga merupakan tujuan yang banyak dipilih oleh mereka.

Selain pedagang, tokoh agama pun banyak yang hijrah ke Aceh. Salah satunya yang berhasil merebut hati raja kerajaan Aceh saat itu adalah Sultan Iskandar Thani yang tak lain adalah Syeikh Nurruddin Ar-Raniry. Ia datang ke Aceh pada tahun 1637.

Tapi sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry telah datang ke Aceh. Namun, karena adanya pertentangan faham dengan Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan penasehat Sultan Iskandar Muda, ia tidak menetap di Aceh, tapi di daerah se¬menanjung Melayu.

Di sana ia mempelajari kitab-kitab sastra Melayu yang berisikan sejarah dan pegangan raja-raja serta pembesar kerajaan dalam memimpin menurut Islam. Seperti: Hikayat Iskandar Zulkarnain, kitab Tajussalatin dan sejarah Melayu, serta beberapa kitab lainnya yang sudah ditulis masa itu.

Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniry:

1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah
3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin
5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi
6. Kitab Latha’if al-Asrar
7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
10. Kitab Hill al-Zhill
11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
14. Kitab Syifa’u’l-Qulub
15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
29. Kitab Syadar al-Mazid

Kitab-kitab tersebut kemudian diperbaharuinya. Selama di Semenanjung Melayu dia menulis dua buah kitab, kitab Durrat al-Fara’id dan Hidayat al-Habib. Kedua kitab inilah yang dibawanya ke Aceh masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani, karena Sultan Iskandar Muda dan juga Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan pena¬sehatnya sudah mangkat. Sheikh Nurruddin Ar-Raniry diterima dengan baik oleh Sultan Iskandar Thani.

Tapi tak mudah baginya untuk membawa faham Syafii ke Aceh kala itu, karena di Aceh telah berkembang faham Wujudiah yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri. Syeikh Nurruddin Ar-Raniry menentang keras faham Wujudiah kala itu. menurutnya ajaran Hamzah Fansuri tersebut merupakan aliran sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam. [iskandar norman]

Ar Raniry di Taman Raja-rajaKebesaran Syeikh Nuruddin Ar Raniry, salah satunya terdapat dalam kitab Bustanussalatin, yang merupakan kitab terkenal mufti kerajaan Aceh tersebut. Kitab itu ditulis pada tahun 1637 M (1047 H), pada masa Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Thani.

Dalam kitab itu digambarkan keindahan Taman Ghairah, yakni taman para raja. Ar Raniry menulis. “Pada zaman bagindalah berbuat suatu bustan, yaitu kebun, terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka ditanami berbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar Baginda bustan itu Taman Ghairah.”

Keindahan Taman Ghairah yang disebutkan dalam kitab Bustanussalatin, pernah distulis oleh Dr Hoesein Djajaninggrat pada tahun 1961 dalam bahasa Belanda, kemudian diterjemahkan oleh Aboe Bakar dan Ibrahim Alfian. Diceritakan, taman gunung (gunongan) di dalamnya sangat memukau.

Taman itu sangat luas dan daliri oleh sungai Darul Isyki, kini dikenal sebagai Krueng Daroy. Taman itu dipenuhi tumbuhan buang dan buah. Di dalam taman juga terdapat bangunan-bangunan yang terbuat dari batu pualam warna-warni, serta tiang-tiang yang terbuat dari tembaga, perak, dan suasa yang berukir indah. Bangunan yang masih tersisa sampai sekarang adalah gunongan dan pinto khop.

Dikisahkan dalam Kitab Biustabussalatin, air sungai Darul Isylki sangat sejuk dan menyehatkan, bersumber dari mata air di bawah jabalul a’la di arah magrib. Sekarang dikenal sebagai tempat wisata pemandian Mata Ie.

Di pertengahan jalur sungai Darul Isyki ditemukan sebuah pulau kecil bernama Pulau Sangga Marmar, berlais batu dan dikelilingi karang aneka warna yang disebut Pancalogam. Ada pula jembatan besar yang indah yang dinamai Rambut Kamalai.

Diceritakan pula berbagai jenis batu yang dipakai sebagai tarupan tanah dan lereng, serta tebing sungai, diselingi oleh taman bunga dan berbagai pohon yang berbuah. Oleh sultan Aceh, taman ini digelar Taman Ghairah. (Taman di dalam istana daruddunya kerajaan Aceh Darussalam)

Begitulah Nuruddin Ar Raniry menggambarkan keindahan dalam Bustanussalatin. Marwah taman itu bukan saja karena aneka bangunan mungil yang sesak dengan berbagai material pembangunannya, tapi juga oleh beragam jenis tanaman bunga dan buah yang membuat keasrian taman sangat alami. [iskandar norman]


Sumber: Serambi Indonesia.
From Aceh I'm in Love
lubukilmu