Wednesday, September 1, 2010

Menyikat Gigi Tanpa Pasta Gigi Saat Berpuasa


Berpuasa seringkali menyisakan bau mulut yang kurang nyaman bila tercium oleh orang lain. Meskipun demikian, dalam sebuah hadits telah disebutkan bahwa bau mulut orang yang berpuasa bagaikan wangi misk di sisi Allah. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”[1]

Untuk meminimalisir bau mulut, seringkali kita menyikat gigi dengan pasta gigi. Dalam kondisi berpuasa, apakah kita tetap boleh menyikat gigi dengan menggunakan pasta gigi? Apakah hal ini boleh disamakan dengan kebolehan bersiwak saat berpuasa? Mari kita kaji pembahasan ini bersama.
Hukum Bersiwak Saat Berpuasa
Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya tentang hukum bersiwak ketika sedang melakukan puasa Ramadhan. Beliau memaparkan, “Tidak diragukan lagi bahwa bersiwak merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dianjurkan. Bersiwak memiliki keutamaan yang besar. Terdapat berbagai riwayat shahih yang menunjukkan dianjurkannya bersiwak, dapat kita lihat pada perbuatan maupun perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mengamalkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Hendaklah kita berusaha bersiwak, terlebih-lebih lagi pada saat diperlukan atau pada waktu yang disunnahkan untuk bersiwak, seperti sebelum berwudhu, ketika akan melaksanakan shalat, ketika hendak membaca al-Quran, ketika ingin menghilangkan bau mulut yang tak sedap, serta saat bangun tidur sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keadaan-keadaan tadi merupakan saat yang ditekankan untuk bersiwak. Dan asalnya, siwak itu disunnahkan di setiap waktu. Orang yang berpuasa pun dianjurkan untuk bersiwak sebagaimana orang yang tidak berpuasa. Pendapat yang tepat, bersiwak dibolehkan sepanjang waktu, dianjurkan untuk bersiwak di pagi hari maupun di sore hari.
Pendapat yang menyatakan tidak bolehnya bersiwak di sore hari sebenarnya bukan berasal dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang tepat terdapat beberapa perkataan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan,
رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَا لاَ أُحْصِى يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak beberapa kali hingga tidak dapat kuhitung banyaknya, meskipun saat itu beliau sedang berpuasa.”[2]
Oleh karena itu, bersiwak itu disunnahkan bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Namun dengan tetap menjaga agar jangan terlalu kasar (tergesa-gesa) ketika bersiwak karena bisa melukai mulut dan menyebabkan keluarnya darah, atau siwak bisa merusak sesuatu yang ada di mulut . Maka, wajib bagi orang yang terjadi semacam itu untuk mengeluarkan darah atau siwak tersebut dari mulutnya. Oleh karena itu, hendaklah seseorang bersiwak dengan perlahan-lahan.[3]

Jika Siwaknya Memiliki Rasa
Sebuah pertanyaan disampaikan kepada Syekh Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, “Apakah bersiwak dengan siwak yang memiliki rasa membatalkan puasa?”
Syaikh Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin menyampaikan jawaban, “Bersiwak boleh dilakukan saat berpuasa, dan hukumnya disunnahkan di setiap waktu. Banyak ulama yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Mereka berpendapat demikian karena bersiwak menyebabkan hilangnya bau mulut yang baunya di sisi Allah bagaikan wangi misk.
Para ulama yang meneliti lebih jauh menguatkan pendapat bahwa bersiwak saat berpuasa tidaklah makruh, bahkan dianjurkan untuk bersiwak di pagi dan sore hari.

Adapun jika siwak tersebut memiliki rasa, maka wajib bagi orang yang bersiwak untuk membuang ludahnya ke tanah atau menyekanya dengan sapu tangan. Secara umum, sesungguhnya rasa itu hanya ada di kulit siwak dan tidak selamanya akan ada pada siwak tersebut. Adapun jika siwak tersebut berasa seperti rasa salah satu jenis sayuran atau yang semisalnya, dari segi bahwa rasanya dapat terkecap dengan ludah, maka wajib bagi orang yang bersiwak tersebut untuk memuntahkan air liurnya tadi, karena jika dia sengaja menelan sesuatu dan mengecap rasanya maka puasanya batal. Wallahu a’lam.[4]

Dari fatwa beliau tersebut, dapat dipahami bahwa alasan tidak bolehnya menggunakan siwak yang memiliki rasa saat berpuasa adalah karena rasa dari siwak tersebut bisa terkecap oleh ludah dan akhirnya tertelan masuk ke tenggorokan. Padahal, telah kita ketahui bersama bahwa menelan makanan dan minuman ke dalam kerongkongan dengan sengaja termasuk salah satu pembatal puasa.
Dalam kitab Haqiqatush Shiyam, pada Pasal “Hal-hal yang Membatalkan Puasa dan yang Tidak Membatalkan Puasa”, Syaikh al-Albani menyatakan, “Pembatal-pembatal puasa ada yang berdasarkan nash dan ijma’ (kesepakatan para ulama), yaitu: makan, minum, dan berjima’ (hubungan intim dengan istri). Allah Ta’ala berfirman,
فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
‘Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, serta makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam (yaitu fajar). Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai (datangnya) malam….’ (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat ini menunjukkan bahwa di saat tidak puasa diizinkan untuk berhubungan intim dengan istri. Maka bisa dipahami bahwa puasa haruslah menahan diri dari berhubungan intim dengan istri, makan dan minum.”[5]
Hukum Menggunakan Pasta Gigi Saat Berpuasa
Dalam hal ini, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya, “Apakah seseorang yang berpuasa boleh menggunakan pasta gigi padahal dia sedang berpuasa di siang hari?”

Beliau menjawab, “Melakukan seperti itu tidaklah mengapa selama tetap menjaga sesuatu agar tidak tertelan di kerongkongan. Sebagaimana pula dibolehkan bersiwak bagi orang yang berpuasa baik di pagi hari atau sore harinya.” [6]
Pertanyaan yang serupa juga pernah disampaikan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin, “Apa hukum menggunakan pasta gigi bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadan?”
Beliau menjelaskan, “Penggunaan pasta gigi bagi orang yang sedang berpuasa tidaklah mengapa jika pasta gigi tersebut tidak sampai masuk ke dalam tubuhnya (tidak sampai ia telan, pen). Akan tetapi, yang lebih utama adalah tidak menggunakannya karena pada pasta gigi terdapat rasa yang begitu kuat yang bisa jadi masuk ke dalam perut seseorang tanpa dia sadari. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Laqith bin Shobroh,
بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), kecuali bila engkau sedang berpuasa.”[7]
Dengan demikian, yang lebih utama bagi orang yang sedang berpuasa adalah tidak menggunakan pasta gigi. Waktu untuk menggunakan pasta gigi sebenarnya masih bisa di waktu lainnya. Jika orang yang berpuasa tersebut tidak menggunakan pasta gigi hingga waktu berbuka, maka berarti dia telah menjaga dirinya dari perkara yang dikhawatirkan merusak ibadah puasanya.”[8]

Kesimpulan
  • Bersiwak disunnahkan untuk dilakukan dalam keadaan apa pun, baik sedang berpuasa ataupun tidak.
  • Hukum menggunakan sikat gigi dianalogikan (diqiyaskan) dengan hukum menggunakan siwak.
  • Hukum menggunakan sikat gigi dengan pasta gigi dianalogikan (diqiyaskan) dengan hukum menggunakan siwak yang memiliki rasa.
  • Pada asalnya, hukum menggunakan sikat gigi dengan pasta gigi saat berpuasa adalah boleh. Namun untuk lebih berhati-hati dari tertelannya pasta gigi ke dalam kerongkongan, maka sebaiknya pasta gigi tidak digunakan ketika puasa, bisa ditunda setelah waktu berbuka tiba atau sebelum masuk waktu shubuh. Sebagai gantinya, ketika sedang berpuasa, sebaiknya menyikat gigi dilakukan tanpa memberikan pasta gigi pada sikat gigi. Wallahu a’lam.



[1] HR. Muslim no. 1151.

[2] HR. Tirmidzi no. 725 dan Ahmad 3/445. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.

[3] Fatawa Ramadhan, Juz 2, nomor fatwa. 441, hlm. 492-493.

[4] Fatwa Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, nomor fatwa. 10774.

[5] Haqiqatush Shiyam, hlm. 10—11.

[6] Fatawa Ramadhan, Juz 2, nomor fatwa. 444, hlm. 495.


[7] HR. Abu Daud no. 2366. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[8] Fatawa Ramadhan, Juz 2, nomor fatwa. 446, hlm. 496
Referensi:
  • Fatwa Syaikh al-Jibrin, http://ibn-jebreen.com (URL: http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=10774&parent=835)
  • Fatawa Ramadan fish Shiyam wal Qiyam wal I’tikaf wa Zakatul Fithr, Para Ulama, www.waqfeeya.com (URL: http://ia311213.us.archive.org/1/items/frskfrsk/frsk.pdf)
  • Haqiqatush Shiyam, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, pentahqiq Syekh Nashiruddin al-Albani, www.waqfeeya.com (URL: http://ia311036.us.archive.org/2/items/waq93564/93564.pdf)
Penulis: Ummu Asiyah Athirah

Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslimah.or.id